EPIK

Ajeleh Sotrah

Matsudin termenung di bale-bale bambu rumahnya, dia masih bingung pada apa yang menjadi tugas terbarunya. Selintas kemudian, dia melangkahkan kaki, menuju warung kopi bu Sarinten, disana, sudah banyak teman-teman sedesa Matsudin.

“Kabarnya, perang jawa banyak korbannya kak”.

“tak osa rok norok lekk, mon reng kenik”.

“yeh dekremmah kak, mak pas tang ratoh nurok Belendeh”.

“ambu lekk, apa caen reng atas jiyah”.

Matsudin diam seribu bahasa mendengar percakapan teman-temannya, dia hanya tersenyum kecut dan keluar dari warung buk enten, dia melangkah gamang. Kembali hadir dalam ingatan Matsudin akan perjumpaannya dengan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, raja Sumenep. Sangat jelas dalam benaknya saat sosok agung sang sultan menemui dia di gubuknya yang reot dan memberi Matsudin tugas yang sangat berat. Saat itu, sang raja Sumenep menyamar sebagai empu pembuat keris dan ditemani seorang penjaga istal kuda yang masih terhitung kerabat Matsudin.

“cong, sengkok minta tolong ka be’en”.

Matsudin yang baru pertama kali mengetahui sosok sang raja, hanya menunduk rikuh. Seumur hidup dirinya tidak menyangka akan berhadapan langsung dengan rajanya.

“sebuah kehormatan bagi seorang bejingan seperti hamba diberi mandat khusus oleh Kanjeng Sultan”.

“saya seorang raja, tidak peduli seorang preman atau seorang bangsawan, selama dia orang Sumenep, dia tetap rakyatku”.

“nak, aku punya tugas khusus untukmu”!!!!bersumpahlah, demi Tuhanmu, kamu tidak akan mengkhianati tugasmu itu!!!! Tapi sebelum kamu berangkat, pada saat bulan tanggal dua puluh tiga aku akan menemuimu di bawah pohon Randu alas di belakang kuburan kanjeng kai Panembahan Sumolo, saat itu aku akan memakai pakaian seorang pedagang asing yang mau berziarah ke makam kanjeng kai”.

Dengan bergegas, Matsudin memasuki pelataran asta tinggi tempat para raja Sumenep di makamkan. Ingatan tentang pertemuannya dengan Sultan Abdurrahman seketika buyar, saat menyadari di depannya sudah berdiri sosok sang raja dengan menggunakan pakaian seorang pedagang Arab dan menutupi wajahnya dengan ikatan surbannya yang juga berwarna kuning.

“Assalamu alaikum, gusti prabu, hamba menghadap”.

“waalaikum salam, kamu terlambat nak, lain kali jangan biasakan mengulur waktu”. Dalam sebuah peperangan, terlambat sedikit saja, nyawa taruhannya”.

“hamba harus menghindari patroli pasukan Kompeni, baginda”.Matsudin menjelaskan.

Sosok agung di depan Matsudin menghela nafas berat. Matsudin seakan ikut merasakan kegundahan sang raja. Diusianya yang hampir separuh baya, sang raja Sumenep yang ada di depannya walaupun masih tampan dan menawan namun terlihat menyimpan kegelisahan yang luar biasa.

“Hamba sudah menemukan 50 orang preman yang pintar menguasai jalan-jalan pegunungan kanjeng prabu”.

“mereka harus benar-benar terlatih Matsudin, karena yang mereka arungi bukan wilayah Madura tapi Jawa yang penuh dengan jurang-jurang terjal”.

“kalian akan berangkat dengan 2000 orang prajurit Sumenep yang dipimpin olehku dan keempat anak-anakku”.

Ada sedikit kekecewaan yang tersirat di wajah legam Matsudin, kecewa akan sikap politik sang raja yang lebih memihak kompeni Belanda dari pada familinya sendiri dalam perang  Diponegoro. seperti yang diketahui, Pangeran Diponegoro terhitung masih family dekat adipati Surodimenggolo V cucu  Adipati Surodimenggolo III, bupati Semarang, dan Sultan Abdurrahman sendiri masih cucu Adipati Suroadimenggolo III sebab ibunda Sultan Abdurrahman yang bernama RA. Maimunah adalah putri Adipati Suroadimenggolo III.  Dukungan Sultan Abdurrahman kepada Belanda memantik kekecewaan rakyat Semarang kepada raja Sumenep karena itulah Sultan Abdurrahman dianggap memerangi family Sultan sendiri.

“tugas kalian tidak hanya berperang dengan pasukan nakmas pangeran Diponegoro, tapi khusus untuk kamu dan teman-temanmu akan menikam pasukan Belanda dari belakang”.

“maksud kanjeng gusti? Matsudin tidak mengerti penuturan sang raja yang ada di depannya.

Sultan Abdurrahman menatap penuh selidik pada Matsudin, seakan-akan mencari kejujuran pada diri Matsudin.

“apa kamu kira aku sudi menyembah Belanda dan memerangi bangsaku, keluargaku sendiri?!!!!

“tapi kanjeng gusti mengirim pasukan Sumenep untuk memerangi Pangeran Diponegoro yang masih terhitung saudara ipar kanjeng gusti!!!

“anak muda, seandainya aku hanya rakyat biasa seperti dirimu, seandainya aku bukan seorang raja yang memiliki tanggung jawab menjaga dan melindungi rakyatnya, aku akan berangkat ke Jawa dan memikul senjata, berperang disamping kerabat-kerabatku, tapi kenyataan yang ada sekarang, aku seorang raja, salah selangkah dalam mengambil keputusan maka rakyatku yang juga harus menanggung akibatnya”.

“kenapa gusti prabu tidak mengangkat senjata, kami semua rakyat Sumenep pasti berada di belakang gusti prabu?”

Sultan Abdurrahman hanya tertawa kecil mendengar ucapan Matsudin. Sultan yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang Kebudayaan dari Kerajaan Inggris itu hanya menatap arif pada Matsudin.

“cong, Sumenep itu tidak seluas pulau Jawa, secara geografi tempat kita tidak menguntungkan untuk strategi perang gerilya apalagi perang terbuka, dari segi persenjataan, kita kalah jauh dari mereka, sebelum pedangmu sampai ke tubuh mereka, pelor dari senjata mereka sudah menembus dadamu, kalau kita mengadakan pertikaian secara frontal dengan mereka, dalam satu kali sapuan bersih, Belanda sudah bisa membumi hanguskan Sumenep, setelah itu Belanda akan memiliki alasan untuk memperbudak rakyatku”.

Matsudin menunduk ta’dzim pada rajanya, dalam hati dia membenarkan kata-kata Sultan Abdurrahman. Perlawanan Sumenep pada Belanda sama halnya mengantarkan nyawa rakyat Sumenep. Berarti desas desus yang didengar Matsudin dari orang-orang kepercayaan Sultan Abdurrahman benar adanya, bahwa apa yang dilakukan sultan Abdurrahman pada dasarnya sebuah strategi politik jangka panjang untuk memberikan ruang segar bagi masyarakat Sumenep agar bisa berdiri tegak otonom di hadapan eks kekuatan Mataram maupun Belanda sendiri. Baik Belanda maupun dinasti Mataram pada dasarnya, adalah dua entitas yang secara politis ekonomis merugikan Sumenep. Sumenep harus menyerahkan upeti berkala terhadap Mataram sebagai otoritas kekuasaan tertinggi, sebagaimana hal itu dilakukan juga terhadap Belanda. Dengan mengangkat dirinya sebagai sultan, otoritas politik Sumenep ingin menegaskan bahwa Sumenep bukan vasal Jawa. ‘Politik main mata’ dengan Belanda inipun ternyata juga membuahkan hasil yaitu terkuranginya porsi kolonialisasi Belanda di Sumenep. Kesultanan Sumenep ingin membebaskan dirinya secara eksplisit dari dominasi pribumi dan secara implisit dari kolonialisasi asing.

“ pengaruhi teman-temanmu yang lain, untuk mernjadi musuh dalam selimut bagi pasukan Belanda di medan perang, kalian harus menjadi telek sandi pasukan nak mas pangeran Diponegoro, tapi saat ada salah satu diantara kalian yang tertangkap, kalian tidak boleh membawa nama anggota keluarga kerajaan karena akan fatal akibatnya”.

“inggih gusti, hamba mengerti”

“bagus, jangan lupa kenali dengan baik siapa kawanmu dan siapa lawanmu Matsudin, dan ingat, strategi ini tidak boleh bocor pada siapapun, walaupun itu pada orang yang kamu cintai, baiklah aku pergi dulu”.

“ampun gusti, hamba lancang bertanya, apakah strategi ini pernah diterapkan gusti Sultan pada saat perang Aceh?”.

Sultan Abdurrahman hanya tersenyum dan tidak menjawab. Matsudin menunduk takzim sedalam-dalamnya, dipandanginya tubuh tegap yang berlalu dari depannya. Matsudin merasa iba pada rajanya. Bagaimana tidak, rajanya dicap anti nasionalis oleh mayoritas kalangan bangsawan Jawa, tapi dipuja oleh masyarakat Sumenep karena memang pada saat Sultan Abdurrahman memerintah, masyarakat Sumenep memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi yang lebih tinggi dari masyarakat Jawa yang sedang dilanda perang. Perintah yang diberikan oleh Sri Sultan menegaskan politik Sultan Abdurrahman yang dikenal dengan sebutan “Ajeleh Sotrah”. Matsudin masih ingat cerita tentang pasukan Sumenep yang mencuri senjata milik pasukan Belanda dan diserahkan pada para pejuang Aceh. Saat mereka tertangkap, Sultan Abdurrahman yang mengeksekusi sendiri para prajurit Sumenep yang membelot tersebut. Matsudin mengingat kata-kata Benawa temannya sesama preman bahwa ada orang yang mirip Pangeran Kusuma Senaning Alaga putra Sultan Abdurrahman menghadiri pemakaman para prajurit tersebut. Matsudin beranjak menjauh dari komplek pemakaman Asta Tinggi, dia harus secepatnya berkemas-kemas dan menemui anggota kelompoknya.

Dua hari kemudian, Matsudin pulang, saat sampai di gubuknya, dipandanginya raut wajah istrinya yang sedang tertidur pulas. Dia hanya mampu menatap masygul pada wanita yang baru dinikahinya setengah tahun yang lalu. Perlahan-lahan dia mengemasi semua barang-barangnya, dia bertekat tidak akan mengkhianati perintah rajanya, tapi dalam hati serasa tidak tega berpamitan pada wanita yang sedang hamil muda tersebut.

“bagaimana kalau hamba tertangkap, bagaimana nasib keluarga hamba”. Matsudin mengenang kembali pertemuannya dengan Sultan Abdurrahman.

“tidak usah khawatir, aku sudah mempertimbangkan semuanya, ini janjiku, dan pantang seorang raja mengingkari janjinya sendiri”. Matsudin percaya sepenuhnya, kalau Sultan Abdurrahman akan menjaga istri dan ibunya.

“deteng dimmah be’en kak?

Sapaan istrinya membuyarkan lamunan Matsudin tentang Sultan Abdurrahman. Tanpa disadari olehnya, istrinya sudah bangun.

“sengkok e panggil ke kraton bik ki demang kandiluhur”.

“bedeh apah kak?

“pasabber be’en, sengkok ekeremmah ka jebeh, kaanggui abentoh Belanda”.

Istri Matsudin langsung histeris menangisi keputusan itu. Matsudin hanya terpaku menatap istrinya yang sesenggukan. Sepenuhnya dia mengerti perasaan istrinya, mereka masih baru saja menikah, apalagi istrinya baru hamil muda. Tapi dia harus tunduk bakti pada keputusan rajanya.

“kak, masak be’en mangkattah? Istrinya Matsudin mengiba

“ini adalah perintah raja, sabda pandita ratu, perintah raja adalah undang-undang”.

“aduhai, tega nian sang Sultan memisahkan kita, kenapa pula Sultan mengirimmu untuk membantu Belanda, bagiku kamu lebih baik membantu pasukan Jawa”.

“jangan sekali-kali berprasangka buruk pada raja kita, dia pasti punya kebijakan tertentu untuk menyelamatkan rakyatnya”.

Istri Matsudin merajuk dan sedikit heran dengan sikap suaminya yang terkesan membela sang raja, padahal kemarin sang suami terkesan tidak suka pada kebijakan Sultan Abdurrahman yang cenderung memihak Belanda.

“bagaimana hidupku selanjutnya?

“sepeninggalku, pasti ada yang menjagamu dan ibu, jangan menggarap sawah, akan ada orang yang mengerjakan sawah kita, jaga dirimu dan anak kita, aku juga titip ibuku”.

“sapah kak?

“temanku”

Malam merayap turun, sebelum subuh tiba, Matsudin pamit, diciumnya tangan ibunya yang sudah tua, diciumnya perut istrinya, berusaha merasakan detak jantung anaknya untuk terakhir kalinya. Istrinya menangis, sekuat tenaga dia melangkah, dan meneguhkan hati. Sampai di pelabuhan Kalianget, berpuluh-puluh kapal perang sudah berjejer untuk berangkat. Matsudin mencari kelompoknya. Sebuah tepukan di pundaknya mengagetkan Matsudin.

“man buhari, kemmah se laen?

“bedeh e kapal kabbi lah cong”.

“man, kira-kira berapa orang yang sudah setuju dengan ajakan yang ku tawarkan kemarin?

“semuanya, kami setuju, kami semua memikirkan ucapan kamu din, kita berangkat berarti kita siap mati, dari pada kita mati dalam keadaan membela orang kafir Belanda, lebih baik kita mati karena memerangi mereka, saat hidup sudah jadi preman, masak mati sebagai pecundang!!!! Laki-laki tua yang bernama Buhari dengan berapi-api menyatakan ideologinya. Matsudin mensyukuri hal tersebut, setidaknya setengah dari rencananya telah membuahkan hasil.

“din, kalau aku mati, aku titip cincin ini untuk anak perempuanku”. Matsudin bengong menatap Buhari yang menyodorkan sebuah cincin.

“kok bengong din, ini barang halal kok, aku beli cincin ini dari hasil sebagai kuli angkut selama tujuh tahun”.

“ bukan begitu man Buhari, aku nggak bisa menerima amanatmu, karena aku sendiri tidak tahu, apakah aku akan pulang dengan selamat atau pulang tinggal nama saja”.

Buhari terdiam, wajahnya terlihat sedih, apa yang dikatakan Matsudin ada benarnya juga. Tidak ada yang menjamin keselamatan mereka semua kecuali takdir Tuhan.

“gimana kalau aku titipkan kepada temanku saja?

“ bisa dipercaya tidak temanmu?

“insya Allah man, bisa”.

Buhari menyodorkan sebuah cincin emas kecil ke tangan Matsudin. Dia pasrah pada apa yang Matsudin katakan, dia percaya Matsudin tidak akan menipunya. Walaupun Matsudin seorang preman tapi dia dikenal bukan seorang pengkhianat bagi temannya sendiri.

“man, aku pergi dulu sebentar!!!!

“aku duluan ke kapal!!

Mereka sama-sama bergegas dengan tujuan masing-masing. Perjalanan pasukan Sumenep untuk bergabung dengan pasukan Belanda dalam perang Jawa yang terjadi dalam rentang waktu 1825-1830 berjalan sebagai mana mestinya. Matsudin dan kawan-kawannya menjalankan misinya masing-masing, mereka garang pada pasukan Jawa saat pertempuran terbuka tapi mereka membabi buta membantai  pasukan Belanda saat mereka melakukan pengejaran pada pasukan Jawa di lereng-lereng gunung. Hal itu juga terjadi saat mereka melakukan pengejaran di daerah pantai kidul Jogja.

“Besri, buang semua mayat prajurit Belanda ke laut, ambil senjatanya, letakkan di belakang bukit gundul di samping laut, nanti akan ada yang mengambil”.

“iyeh kak”.

“napi, buatlah tempat ini seakan-akan menjadi ladang pertempuran antara pasukan Belanda dan pribumi”.

“kak, sengkok pate’eh”.

Matsudin hanya melongo heran mendengar kata-kata Sariman, anak buahnya.

“kalau tidak ada yang terbunuh diantara kita, mereka akan mencurigai kita kak”.

“iyeh kak”. Yang lain ikut juga menimpali

“kita juga harus melukai tubuh kita, biar mereka percaya”.

“tak langkong yeh lek, sengkok terpaksa mate’eh be’en demi tujuan kita”.

“iyeh kak, sengkok ikhlas”.

Dengan memejamkan mata Matsudin mengayunkan pedangnya ke leher Sariman. Merekapun melukai tubuhnya masing-masing untuk memberi kesan seakan-akan mereka bertempur dengan pasukan musuh. Tanpa mereka sadari, beberapa pasang mata mengawasi kegiatan mereka.

“kang Tirta, mungkin merekalah yang disebut pasukan bayangan kita oleh kanjeng gusti Diponegoro?.

“saya rasa demikian”.

“kasihan mereka yo kang”.

“tapi kita benar-benar tertolong oleh pengkhianatan mereka pada Belanda”.

Pasukan Sumenep yang sudah selesai dengan kegiatan mereka, membuang mayat teman mereka ke laut dan mulai beranjak pergi. Beberapa orang yang mengintip mereka juga keluar dari persembunyiannya dan mengambil senjata yang disembunyikan oleh Matsudin dan kawan-kawannya.

“kang Tirta, saya benar-benar kagum dengan mereka kang, tapi saya juga bingung, kok bisa kanjeng gusti Diponegoro tahu tentang keberadan mereka”.

“saya rasa ada main mata antara pangeran Diponegoro dengan salah satu bangsawan Sumenep”.

“jangan buat sangkaan sendiri, lagipula kita harus cepat-cepat bergabung dengan pasukan induk”

Para pengintip yang ternyata adalah prajurit Pangeran Diponegoro meninggalkan daerah pantai kidul dengan satu pertanyaan di benak mereka. Selama perjalanan mereka membahas hal tersebut kecuali Tirta. Sebagai orang kepercayaan Pangeran Diponegoro, Tirta mengetahui siapa bangsawan Sumenep yang membantu tuannya.

Matsudin tetap menjalankan misinya setiap ada kesempatan, namun dia selalu mengubah taktik dalam menjalankan misinya untuk menghindari kecurigaan orang-orang Belanda. Matsudin sepenuhnya sadar akan bahaya dari apa yang dilakukannya. Hanya satu yang menjadi tekatnya, Matsudin harus menutup rapat-rapat siapa otak para prajurit bayangan Jawa yang dipimpinnya. dia harus menyelamatkan rajanya dari kecurigaan Belanda, agar Belanda tidak punya alasan untuk menjajah Sumenep. Penjajahan Belanda pada Sumenep akan membahayakan keluarganya, teman-temannya dan rakyat Sumenep keseluruhan terutama istri dan anaknya. Matsudin mendesah penuh kerinduan kalau mengingat tentang anak. Dia sangat merindukan anaknya yang tidak dia ketahui seperti apa wajahnya semenjak ditinggalkan olehnya untuk berperang 3 tahun yang lalu, dia hanya mengetahui kalau istrinya sudah melahirkan seorang anak laki-laki dari orang-orang kepercayaan Sultan. Sungguh dia sangat ingin memeluk putra kecilnya yang belum sempat diberinya nama.

Di lain pihak, di barak perwira Belanda, mereka sedang mendiskusikan strategi perang. Perjalanan perang antara Pangeran Diponegoro dan Belanda yang sudah berjalan selama lebih 3 tahun  telah menelan banyak korban jiwa dan kerugian secara materi pada pihak Belanda.

“kita harus menyelesaikan perang ini, karena perang ini telah banyak menghabiskan jutaan gulden”. Mayor Basilius Van Goens memulai pembicaraan

“kita tidak boleh gegabah, mayor”.

“betul, karena kita tidak mengenal sekeliling kita seperti apa”.

“benteng stelsel telah diterapkan, dan kalau hal ini tidak berhasil, maka kita harus menipu Diponegoro dengan alasan perundingan damai”.

“jujur, saya cuma heran, pasukan patroli dan pengejar kita selalu mengalami kegagalan”.

“ya, dan anehnya, seluruh pasukan kita tewas kecuali beberapa pasukan pribumi dari Sumenep”.

“anda mencurigai pasukan Sumenep?

“kurang lebihnya begitu”.

“tapi, diantara mereka juga ada yang tewas?

“tapi kita harus waspada bukan?.

 “sejauh ini, kita masih belum memiliki bukti, bagaimana menurut anda kapten?

Jenderal De Kock yang menjadi panglima perang Belanda melawan Pangeran Diponegoro hanya diam. Sang pencetus strategi Benteng Stelsel dalam perang Diponegoro tersebut hanya menatap ke luar ruangan seakan-akan menunggu seseorang. Beberapa strategi yang digunakan De Kock untuk meredam perlawanan Diponegoro yang menggunakan taktik perang gerilya gagal total. Strategi terbaru mereka adalah Benteng Stelsel yang secara garis besar strategi perang ini adalah pada setiap kawasan yang sudah berhasil dikuasai Belanda, dibangun benteng pertahanan atau kubu pertahanan, kemudian dari masing kubu pertahanan tersebut dibangun infrastruktur penghubung seperti jalan atau jembatan. Penggunaan strategi Benteng Stelsel pada satu sisi berhasil mempercepat peperangan yang akan tetapi banyak menghabiskan biaya, dengan menjepit kedudukan musuh sekaligus dapat mengendalikan wilayah yang dikuasai, namun sisi lain taktik ini juga memberi dampak pada pengerahan tenaga kerja paksa yang banyak terutama untuk membangun infrastruktur dalam mendukung strategi tersebut. Pada awalnya taktik perang ini kurang disukai oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Gisignies yang dianggapnya juga memerlukan biaya yang besar namun tekanan untuk dapat mempercepat penyelesaian perang di Hindia Belanda, strategi ini tetap dipertahankan.

Ditengah kebisuan para perwira Belanda, seorang prajurit datang menghadap. Jenderal De Kock melonjak gembira.

“kebingungan kita sekarang terjawab tuan-tuan, cepat paparkan penyelidikanmu”!!

Prajurit yang baru datang tersebut menunduk hormat pada atasannya.

“apa yang tuan khawatirkan memang benar, ada prajurit pribumi yang berkhianat pada kita”.

“siapa?

“prajurit Sumenep, dan ada salah satu dari mereka yang menjadi pemimpinnya!!!!

 “kita harus menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu”.

“prajurit, panggil raja Sumenep kemari”.

“tidak perlu memanggil raja Sumenep tuan De Kock, kalau dulu mereka menyergap kita, sekarang kita sergap mereka, kita bantai mereka dan buang mayatnya ke jurang, kita buat seakan-akan mereka dibantai prajurit Jawa”.

“jangan-jangan raja Sumenep dalang dari gerakan mereka”.

“kita jangan gegabah, ini masih praduga, tapi bagaimana kalau kita mengirimkan dulu dua pasukan penyergap, rombongan pertama dengan sedikit prajurit kita, rombongan kedua menyusul diam-diam dan kita bantai pengkhianat itu dari dua arah”.

“usul yang bagus mayor, dan kita cari seorang prajurit Sumenep yang bisa kita bayar, kita racuni raja Sumenep melalui dia, kita buat raja Sumenep mati pelan-pelan untuk menghilangkan kecurigaan anak-anaknya”.

“saya setuju dengan pendapat tuan-tuan sekalian, kita minta tolong kepada residen Belanda di Sumenep untuk mencari bangsawan Sumenep yang bisa dibeli, bangsawan itu yang akan meracuni raja saat pulang nanti”.

Jenderal De Kock berdiri dan menuju kalender yang menggantung di samping meja kerjanya. Dilingkarinya tanggal 24 Januari dan tanggal 29 pada bulan yang sama. Semua perwira Belanda mengernyitkan dahi tanda tidak mengerti akan kelakuan De kock. De Kock tersenyum dan menatap para bawahannya.

“sekarang tanggal 22 tuan-tuan, tanggal 24 pembantaian para verrader kampungan itu, tanggal 29 permulaan racun arsenic yang kita berikan secara berkala pada makanan Sultan, dan ini adalah tanggal istimewa kita”. Jenderal De Kock memaparkan rencananya dan melingkari tanggal 24 sampai 30 Maret.

“ditanggal inilah Diponegoro akan kita tangkap, kita buat dia datang dengan alasan kita ingin melakukan perundingan damai dengannya, di saat itu kita lucuti senjatanya dan para pengikutnya, selesai!!!!!!!!

“prajurit, katakan pada sultan Sumenep, dia harus kirim sebanyak-banyaknya pasukan penyergap, dan katakan padanya, pasukan penyergap pribumi ada di garis depan bersenjatakan parang dan pedang untuk digunakan membabat rumput-rumput liar agar pasukan kita tidak terhalangi gerakannya”

“baik, tuan”.

“kita harus bersikap wajar-wajar saja tuan-tuan, untuk menghindari kecurigaan raja Sumenep kalau dirinya sudah diintai”.

Jenderal De Kock mengakhiri pertemuannya dengan para perwira Belanda sedangkan di sisi yang lain, di barak tempat tentara, Matsudin dan kawan-kawannya beristirahat .

“mon reng Blendeh ngalak nyamanah dibik onggu, oreng esoro abesbes, dibi’en ngalak geleggenah”

“sudahlah, jangan menggerutu”

“untuk besok, posisi kita untuk menyerang Belanda dari belakang tidak menguntungkan kak din”

Matsudin diam seribu bahasa, dia masih bermain dengan khayalannya. Khayalan akan pertemuan dirinya dengan istri dan anaknya serta ibunya. Entah mengapa, 3 hari terakhir Matsudin selalu bermimpi tentang istri dan anaknya. Mimpi yang mampu menghibur dirinya dalam sengkarut perang.

“man Buhari tidak usah ikut besok, istirahat dulu”. Matsudin angkat bicara

“persiapkan semua peralatan kalian untuk besok, dan tidak usah menyergap pasukan Belanda karena posisi kita tidak menguntungkan”.

Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, pasukan Sumenep kelompok Matsudi berangkat dan menjalankan tugas. Di sisi lain tanpa mereka sadari tentara Belanda juga berangkat dari 3 arah yang berlawanan.  Saat waktu sudah sangat benderang dan panas, bayangan dan derap langkah pasukan Belanda dari tiga arah berlawanan mengejutkan Matsudin dan kawan-kawannya. Matsudin mencium sebuah konspirasi, saat itu sangat terasa baginya kalau dia telah di jebak.

“sial, kenapa aku tidak memikirkan hal ini”

“kenapa kak”?

“sepertinya, mereka mencium pengkhianatan kita, makanya mereka menyuruh kita berangkat terlebih dahulu, dan memerintahkan tidak bersenjata bedil sama sekali”

“terus kita harus bagaimana kang?”

“mereka mengepung kita dari tempat yang tidak menguntungkan pada kita, sepertinya mereka sengaja memilih tempat ini”.

“mayuh maju kak, jangan sampai teman-teman kita yang berkorban jadi sia-sia”.

“kita tunggu mereka di sini dan bersandiwara seakan-akan kita tidak tahu apa-apa kak, saat mereka lengah dan menggiring kita, kita cabut sangkur dan menyerang mereka”

“Sepertinya mereka tidak mau menangkap kita tapi memang mau membantai kita, lihatlah, mereka mengacungkan bedilnya kepada kita ”

“kau benar, ya sudah kalau begitu, kita sambut mereka, hindari pelor mereka dengan gerakan zigzag, saat dekat lemparkan pedang dan tombak”.

“kita sudah pasti mati kak din hari ini”.

“semua orang pasti mati, kalau tidak hari ini pasti di hari yang lain !!!!”.

Tentara Belanda semakin mendekat, terlihat dengan jelas kalau mereka bukanlah seorang sahabat. Tatapan mata kebencian dari mata mereka sudah jelas tersirat.

“tolos onggu se tak ngatela’ah tang anak saomorrah. Kanjeng Sultan, hamba sudah melaksanakan tugas, maaf kalau hanya sampai di sini”. Matsudin memegang pedangnya dengan erat dengan gumaman kecil yang membuat teman-temannya di sekitarnya heran.

“kanjeng sultan?”

Teman-temannya menoleh pada Matsudin meminta penjelasan, tapi Matsudin diam seribu bahasa dan hanya mengeratkan pegangan pedangnya. Sikap Matsudin sudah menjelaskan siapa dalang dari gerakan mereka. Mereka menatap pasukan Belanda yang sudah makin dekat tanpa ragu.

“tidak boleh ada yang hidup dari mereka”!!!!!!!!

Teriakan pasukan Belanda membuat Matsudin dan kawan-kawannya bergerak maju, mereka berlari dengan taktik zigzag dan secepat angin mendekati pasukan Belanda. Lemparan pedang mereka mampu melukai dan membunuh pasukan Belanda, akan tetapi dalam satu kali sapuan tembakan bedil, Matsudin dan teman-temannya sudah bersimbah darah. Matsudin tersenyum untuk terakhir kalinya di tengah bunyi bedil Belanda yang membantai mereka tanpa ampun. Bayangan wajah istri dan ibunya bermain di pelupuk mata yang berdarah. Pada akhirnya Matsudin merasakan pandangan mulai kabur dan gelap, bunyi bedil mulai tidak terdengar.

“mereka semua sudah mati, kapten”.

“mutilasi tubuh-tubuh pengkhianat ini, dan berikan pada anjing hutan, ayo kita pergi dan melapor pada jenderal De Kock”.

Mereka beranjak pergi, sebagian menyeret mayat Matsudin dan kawan-kawannya untuk di mutilasi dan diberikan pada anjing hutan. Mereka pulang ke barak tentara dengan senyum kemenangan. Jenderal De Kock yang sedang menunggu laporan tersenyum melihat kedatangan pasukannnya tanpa disertai pasukan pribumi.

“laporkan pada tuan sultan Sumenep, kalau pasukan penyergap dari Sumenep disergap tentara Jawa dan dibunuh”. Jenderal De Kock memberi perintah pada prajuritnya sambil tersenyum pada para perwiranya.

Sultan Abdurrahman yang sedang bersama panglima perang Sumenep di baraknya hanya tersenyum menerima kabar kematian para prajuritnya. Setelah pasukan Belanda yang menyampaikan kabar tentang kematian Matsudi dan kawan-kawannya pergi, terlihat dengan jelas raut kesedihan Sultan Abdurrahman. Pangeran Hamzah putranya, yang mendampingi Sultan saat itu tidak berani menegur ayahnya yang sedang berduka.

“kai, abdi delem, akan berangkat mencari jejak-jejak pasukan kita yang terbunuh”. Pangeran Hamzah berusaha memecahkan kebisuan diantara dirinya dan ayahnya.

“jangan terburu-buru, saya merasakan semua ini rencana Belanda, jangan melakukan pergerakan apapun”.

“apa yang harus kita lakukan selanjutnya kai?

“kabari saudaramu, laksanakan kewajiban kita pada keluarga para prajurit penyergap yang terbunuh, umumkan pada para prajurit Sumenep tentang kematian mereka”.

“enggi kai”.

Pangeran Hamzah menyampaikan kematian Matsudin dan kawan-kawannya pada para prajurit Sumenep. Buhari yang sedang meringkuk sakit semakin terpuruk dalam kedukaan. Baru tadi malam mereka bercanda dan membayangkan serunya pertemuan mereka dengan keluarga di Sumenep. Tapi takdir menentukan hanya Buhari yang tinggal sendirian. Kebenciannya pada Sultan Abdurrahman pada ambang batas, dan menyeret langkah kakinya pada prajurit Sumenep yang bernama Sarip yang masih kerabatnya seorang anak buah demang Kandiluhur.

“rip, sengkok endek ka tawarennah be’en berik, tapi harus dengan bayaran mahal”.

“tenang kalau itu kak, Belanda akan membayar mahal untuk tugas ini”.

“kapan aku akan jadi pengantar makanan dan minuman Sultan, lek rip?

“3 atau 4 hari lagi tugas ini dilaksanakan, tugas ini hanya sebentar, selama kamu ada di sini saja”.

“tak arapah sampek mole ka Sumenep, kor larang bejerennah”.

“yeh Dinah sengkok kik alaporah ka demang gelluh”

Buhari beranjak meninggalkan tempat itu. Dia siap dengan pekerjaan berbahaya ini. Bayaran mahal dari Belanda terbayang di depan matanya. Bayaran itu akan dia berikan pada keluarga teman-temannya yang telah meninggal dalam peperangan. Pada waktu yang sudah ditentukan Buhari menjalankan tugas itu. Sedangkan Jenderal De Kock tertawa lebar dengan keberhasilan rencana dan siasatnya.

“tinggal selangkah lagi tuan-tuan, sekarang tinggal menipu inlander Diponegoro, dan saya sudah menemukan cara menghubungi Diponegoro untuk diajak berunding”.

“sepertinya rencana tuan akan sesuai dengan tanggal yang tuan tentukan”.

Jenderal De Kock tertawa lebar seakan-akan sudah meraih kemenangan.  

Di tempat Sultan Abdurrahman, Sayyid Bafaqih, guru Sultan Abdurrahman sedang memberi wejangan.

“nak mas, aku mencium racun dari tubuhmu”.

“kanjeng guru, inilah politik, inilah perang”.

“saya harap nak mas berhati-hati”.

“enggih kanjeng guru”.

“aku pergi dulu nak mas sultan”.

Sultan Abdurrahman pergi mengantar kepergian gurunya. Saat itu seorang pengantar minuman masuk menuju ke ruangan Sultan Abdurrahman.

“duduk dulu prajurit, ada titipan yang perlu aku sampaikan padamu”. Sultan Abdurrahman menegur prajurit pengantar minuman yang tak lain Buhari teman Matsudin tersebut. Dengan sedikit gemetar Buhari menghadap ke hadapan Sultan.

“aku mau memberikan benda ini padamu, benda ini pernah kamu titipkan kepada temanku untuk disampaikan pada keluargamu, tapi takdir berkata lain, dia tidak bisa menyampaikan amanatmu ini”. Buhari menerima bungkusan tersebut dari Sultan Abdurrahman dengan gemetar.

“laksanakan tugasmu, tapi jangan sampai memberikan hadiahnya kepada keluarga teman-temanmu, mereka sudah ada yang menanggung”.

Buhari keluar dari barak kediaman Sultan dengan ada sedikit rasa heran. Dibukanya bungkusan yang diberi Sultan Abdurrahman, dia tercengang melihat cincin yang pernah dititipkan olehnya kepada Matsudin. Ternyata teman yang dimaksud oleh Matsudin adalah Sultan Abdurrahman. Buhari menangis sesenggukan, perasaan sesal merejam dadanya.

“aku menyangka sultan seorang pengkhianat, ternyata aku yang berkhianat, aku terlalu dibutakan benci sehingga tidak berpikir panjang, dengan apa aku harus menebus dosa-dosaku pada sultan”.

Buhari bergumam penuh sedih, teringat bagaimana dia memasukkan racun pada minuman Sultan. Buhari Meratapi kebodohannya yang tidak mengenal rajanya dengan baik. Buhari semakin merasa dirinya paling bodoh dan telah berkhianat pada teman-teman seperjuangannya. Buhari merasa menyesal karena tidak bisa merabai politik sultan Abdurrahman yang bersikap baik pada Belanda namun di sisi lain Sultan Abdurrahman mendukung penuh perjuangan Pangeran Diponegoro, politik inilah yang dinamai “Ajeleh Sotrah”.

Keadaan semakin memburuk bagi Pangeran Dipanegara, Sentot Prawiradirja menyerah ke Belanda. Para Pangeran juga menyerah kepada Belanda dan kembali ke kraton Ngayogyakarta. Akan tetepi Pangeran Diponegoro tetap mengadakan perlawanan di daerah Kedu. Pada 17 Februari Letkol Cleerens menghadap Pangeran Diponegoro untuk mengajak berunding di Karesidenan. Pada 18 Maret Pangeran Diponegoro tiba di Magelang dengan berkuda tepat pada bulan Ramadhan. Diponegoro kemudian mengusulkan agar perundingan baru diadakan setelah Idul Fitri yang jatuh pada 27 maret 1830. Sehari setelah Idul Fitri pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan dilaksanakan. Tuntutan pangeran Diponegoro agar mendirikan negara merdeka yang bersendikan syariat dan Islam tidak menemukan kata sepakat dengan Belanda. Karena tuntutan Diponegoro dinilai berlebihan kemudian Pangeran Dipanegara ditangkap kemudian dibuang ke Manado.

Dengan demikian berakhirlah Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara melawan kraton dan Belanda, raja Sumenep juga pulang ke Madura. Di tahun yang sama yaitu 1855 Sultan Abdurrahman dan Pangeran Diponegoro wafat.

Lee Incognito

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top